A.
Undang
– Undang Otonomi Daerah
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Terdapat
dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1.
Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak
mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara
("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat,
bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara
kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2.
Nilai dasar
Desentralisasi Teritorial, dari isi dan
jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana
tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan
politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan
dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan
penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan
kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada
Daerah Tingkat II (Dati II)[2]dengan beberapa dasar pertimbangan[3]:
1.
Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan
sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi
federalis relatif minim;
2.
Dimensi
Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3.
Dati II adalah daerah "ujung
tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu
kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas
dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1.
Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan
kondisi obyektif di daerah;
2.
Bertanggung
jawab, pemberian otonomi
diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah
air; dan
3.
Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan
untuk lebih baik dan maju
B.
Perubahan
Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah
Dampak
Perubahan Penerimaan Daerah
Dalam
UU No. 25 ada tambahan pos penerimaan daerah yaitu dana perimbangan dari
pemerintah pusat.
Beberapa dampak dari
diberlakukannya UU No. 25 terhadap keuangan daerah adalah :
Peranan PAD (Pendapatan Asli
Daerah) dalam pembiayaan pembangunan ekonomi (APBD) tidak terlalu besar. Hal
ini mencerminkan tingginya tingkat ketergantungan finansial daerah terhadap
pemerintah pusat.
Ada Korelasi positif antara daerah
yang kaya SDA dan SDM dengan peranan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dalam APBD
Pada tahun 1998/1999 terjadi
penurunan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dalam pembentukan APBD-nya, salah satu
penyebabnya adalah krisis ekonomi yang melanda tanah air.
Secara sederhana, perubahan APBD
dapat diartikan sebagai upaya pemerintah daerah untuk menyesuaikan rencana
keuangannya dengan perkembangan yang terjadi. Perkembangan dimaksud bisa
berimplikasi pada meningkatnya anggaran penerimaan maupun pengeluaran, atau
sebaliknya. Namun, bisa juga untuk mengakomodasi pergeseran-pergeseran dalam
satu SKPD.
Perubahan atas setiap komponen APBD
memiliki latar belakang dan alasan berbeda. Ada perbedaan alasan untuk
perubahan anggaran pendapatan dan perubahan anggaran belanja. Begitu juga untuk
alasan perubahan atas anggaran pembiayaan, kecuali untuk penerimaan pembiayaan
berupa SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu), yang memang menjadi
salah satu alasan utama merngapa perubahan APBD dilakukan.
Perubahan atas pendapatan, terutama
PAD bisa saja berlatarbelakang perilaku oportunisme para pembuat keputusan,
khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD. Namun, tak jarang perubahan APBD juga
memuat preferensi politik para politisi di parlemen daerah (DPRD). Anggaran
pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran yang sedang berjalan karena
beberapa sebab, diantaranya karena (a) tidak terprediksinya sumber penerimaan
baru pada saat penyusunan anggaran, (b) perubahan kebijakan tentang pajak dan
retribusi daerah, dan (c) penyesuaian target berdasarkan perkembangan terkini.
Ada beberapa kondisi yang
menyebabkan mengapa perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di antaranya:
Target pendapatan dalam APBD
underestimated (dianggarkan terlalu rendah). Jika sebuah angkat untuk target
pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka angka itu menjadi target minimal
yang harus dicapai oleh eksekutif. Target dimaksud merupakan jumlah terendah
yang “diperintahkan” oleh DPRD kepada eksekutif untuk dicari dan menambah
penerimaan dalam kas daerah.
Alasan penentuan target PAD oleh
SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral hazard yang dilakukan agency yang
dalam konteks pendapatan adalah sebagai budget minimizer. Dalam penyusunan
rancangan anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD mempunyai ruang
untuk membuat budget slack karena memiliki keunggulan informasi tentang potensi
pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD.
Jika dalam APBD “murni” target PAD
underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam APBD Perubahan untuk kemudian
digunakan sebagai dasar mengalokasikan pengeluaran yang baru untuk belanja
kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target PAD ini dapat diartikan sebagai hasil
evaluasi atas “keberhasilan” belanja modal dalam mengungkit (leveraging) PAD,
khususnya yang terealiasai dan tercapai outcome-nya pada tahun anggaran
sebelumnya.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan
otonomi daerah, PAD seharusnya merupakan sumber utama keuangan daerah dalam
membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan, sedangkan kekurangan pendanaan
ditunjang dari dana perimbangan. Namun dalam kenyataannya, dana perimbangan
merupakan sumber dana utama pemerintah daerah.
Untuk mengetahui tujuan dari
peranan pendapatan ini adalah :
Untuk mengetahui peranan PAD
sebagai sumber penerimaan dalam pembiayaan APBD .
Untuk mengetahui peranan DAU
sebagai sumber penerimaan dalam pembiayaan APBD.
Untuk mengetahui apa saja usaha
pemerintah untuk meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD).
Untuk mengetahui apa saja kendala
yang dihadapi pemerintah untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Untuk mengetahui apa saja usaha
pemerintah dalam hal mengatasi kendala dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
:
Peranan PAD dalam APBD memberikan
kontribusi rata-rata pertahunya 7,49 persen dengan adanya peningkatan
kontribusi di tiap tahunya yaitu tertinggi pada tahun 2011 dengan kontribusi
sebesar 9,37 persen.
Peranan DAU dalam APBD memberikan kontribusi
rata-rata pertahunya 66,38 persen.
Hal ini mengindikasikan bahwa
pemerintah lebih banyak menggunakan DAU
daripada PAD untuk belanja daerah. Secara umum kebijakan peningkatan Pendapatan
Asli Daerah dari sektor pajak yang dilakukan oleh pemerintah merupakan kebijakan dalam bentuk
intensifikasi.
Sedangkan kendala yang dihadapi
pemerintah untuk meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah antara lain masih rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat dalam
membayar pajak daerah maupun retribusi daerah. Usaha pemerintah dalam hal
mengatasi kendala dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah dilakukan melalui
intensifikasi dan ekstensifikasi.
Saran dalam penelitian ini adalah
hendaknya pemerintah perlu melakukan
penyempurnaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah yang berkaitan dengan
perencanaan, sistem dan prosedur pelaksanaan pemungutan pelaporan dan
pengawasan serta koordinasi antar instansi pengelola PAD.
C.
PEMBANGUNAN
EKONOMI REGIONAL
Pembangunan
regional adalah usaha meningkatkan kualitas kehidupan maupun kualitas
lingkungan, sektor dan jangkauannya sangat luas. (Sumaatmaja, 1989: 49) Menurut
sumber lain, pembangunan regional ialah strategi pemerintah nasional dalam
menjalankan campur tangan pemerintah untuk mempengaruhi jalannnya proses
pembangunan di daerah-daerah sebagai bagian dari daerah nasional supaya terjadi
perkembangan kearah yang dikehendaki.
Wilayah didefinisikan sebagai suatu
unit geografi yang dibatasi oleh krieria tertentu yang bagian-bagiannya
tergantung secara internal. Wilayah dapat dibagi menjadi 4 jenis yaitu:
Wilayah Homogen, adalah wilayah
yang dipandang dari satu aspek/criteria yang mempunyai sifat-sifat atau
ciri-ciri yang relatif sama. Sifat-sifat yang homogen itu misalnya dalam hal
ekonomi, contohnya: daerah dengan struktur produksi dan konsumsi yang homogen.
Dalam hal geografi contohnya daerah yang memilki topografi dan iklim yang sama.
Wilayah Nodal, adalah wilayah yang
secara fungsional mempunyai ketergantungan antara pusat dan daerah belakangnya.
Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat dari arus penduduk, faktor produksi,
barang dan jasa, komunikasi dan transportasinya juga.
Wilayah Administrasi, adalah
wilayah yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi
pemerintah atau politik, seperti: propinsi, kabupaten, kecamatan,
desa/kelurahan, dan RT/RW.
Wilayah Perencanaan, adalah wilayah yang memperlihatkan koherensi
atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Wilayah perencanaan dapat dilihat
sebagai wilayah yang cukup besar untuk memungkinkan terjadinya
perubahan-perubahan penting dalam penyebaran penduduk dan kesempatan kerja.
Wilayah perencanaan harus memiliki cirri sebagai berikut: (a) cukup besar untuk
mengambil keputusan-keputusan investasi berskala ekonomi, (b) mampu mengubah
industri sendiri dengan tenaga kerja yang ada, (c) mempunyai struktur ekonomi
yang homogen, (d) mempunyai sekurang-kurangnya satu titik pertumbuhan, (e)
menggunakan suatu cara pendekatan perencanaan pembangunan (f) masyarakat dalam
wilayah itu mempunyai kesadaran bersama terhadap persoalan-persoalannya.
(Budiharsono, 2001:14-16)
Masalah Pembangunan Region
Tiap region di wilayah Indonesia
yang luas ini selain memiliki sumber daya dan kondisi geografi yang berbeda-
beda, juga menghadapi masalah yang berbeda dalam pengembangan dan pembangunan
regional masing- masing. Oleh karena itu bagi kepentingan pengembangan dan
pembangunan regional yang mendukung pembangunan nasional yang meyakinkan, wajib
melakukan studi, penelitian dan analisis geografi secara mendalam terlebih
dahulu. Studi ini memberikan jaminan terhadap pemanfaatan ruang secara tepat
guna yang berdaya guna dalam menciptakan hasil guna yang setinggi-tingginya.
Jumlah dan penyebaran penduduk yang
berbeda-beda di tiap region, bukan hanya menjadi masalah bagi region
masing-masing, juga menjadi masalah bangsa dan Negara Indonesia. Masalah ini
sudah menjadi dasar perencanaan pengembangan dan pembangunan kependudukan di
Indonesia. Pembangunan kependudukan yang terungkap dalam kebijakan
kependudukan, bukan hanya berkenaan dengan keluarga berencana melainkan juga
terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan, ketenaga kerjaan, keahlian dan
kepemimpinan.( Tap. MPR RI No. II/MPR/1983. Bab IV)
Kebijaksanaan pembangunan regional
Kebijaksanaan pembangunan regional
adalah segala usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan
meningkatkan kualitas kehidupan dan kualitas lingkungan dalam region tersebut.
Dalam menerapkan kebijakan regional
juga harus menerapkan pendekatan yang berbeda sesuai dengan kondisi geografi
dan sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Asas adil dan merata yang
diterapkan dalam pembangunan nasional yang diterapkan dalam pembangunan
regional, berarti setiap daerah memiliki kesempatan yang sama dalam
pembangunan, tetapi pada pelaksanaannya dengan modal dasar dan factor dominan.
Dengan demikian pembangunan regional harus disesuaikan dengankondisi pada
daerah bersangkutan demi kesejahteraan dan peningkatan kualitas lingkungan.
Ada 3 tahapan dalam pembangunan
regional, yaitu pra pembangunan, proses pembangunan, dan pasca pembangunan.
1. Pra
Pembangunan 2. Proses
Pembangunan 3. Pasca
Pembangunan
Dalam melaksanakan pembangunan dan
kebijakan pembangunan regional, pada tahap pra pembangunan kita wajib melakukan
penelitian yang dimulai dengan identifikasi modal dasar apa yang dimiliki
region yang bersangkutan, faktor dominan apa yang melandasinya dan
masalah-masalah apa yang menjadi hambatan yang harus diatasi. Ketiga pokok
tersebut wajib ditelaah secara mendalam demi keberhasilan pelaksanaan
pembangunan. Untuk itu perlu melakukan pengumpulan data region yang akan
dikembangkan dan dibangun di region yang bersangkutan. Data yang terkumpul
kemudian dianalisis untuk ditarik kesimpulannya. Kesimpulan tersebut menjadi
dasar perencanaan bagi pembuat keputusan untuk mengembangkan “ kebijaksanaan
pembangunan regional”.
Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pembangunan regional antara lain:
1. faktor hidrografi, sebagai peninjang
secara langsung dalam kehidupan, menjamin pertanian, pembangkit tenaga, dan
prasarana serta sarana komunikkasi transportasi.
2. faktor topografi, dalam hal ini tinggi
rendahnya permukaan bumi setempat yang memberi landasan terhadap pembangunan
yang akan dikembangkan di region yang bersangkutan.
3. faktor klimatologi, merupakan factor
domiana yang berpengaruh terhadap gerak langkah manusia termasuk perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan regional dan nasional.
4. faktor flora dan fauna merupakan sumber
daya hayati, contonya tumbuh-timbuhan, hutan, hewan di darat maupundi peraiaran
yang menunjang pengembangan dan pembangunan region tersebut.
5. faktor kemungkinan pengembangan,
merupakan faktor yang wajib diperhitungkan bagi masa depan mengingatpertumbuhan
dan perkembangan penduduk dengan segala kebutuhannya yang tidak kunjung akan
berhenti. Factor ini menunjang stabilitas kehidupan dengan pengembangan dan
pembangunannya pada masa yang akan datang.
Modal dan faktor diatas, dianalisis
dan dirumuskan menjadi aspek-aspek geografi yang dapat diteliti bagi
kepentingan perancangan, perencanaan dan pembangunan regional serta nasional.
Selanjutnya, tiap aspek tadi diukur tingkat kualitasnya untuk menentukan
kebijakasanaan regioanal dalam rangka membuat keputusan tentang model pembangunan
yang akan dikembangkan. Untuk kepentingan pengukuran tadi, kita wajib
menentukan parameter yang menjadi pedoman penentuan kualitas aspek yang
menunjang atau menjadi masalah/penghambat pembangunan.
Kembali kepada identifikasi,
pengumpulan data dan analisis aspek-aspek geografi region yang akan
dikembangkan, aspek-aspek geografi yang akan diidentifikasi dan dianalisis
meliputi:
1. Keadaan lahan dengan kondisi morfooginya
2. Kemungkinan pengmbangan
transportasi-komunikasi
3. Kemungkinan pengembangan teknologi
4. Kependudukan (demografi)
5. Hidrologi
6. Iklim dan cuaca
7. Kemungkinan penjagaan dan pelestariaan
lingkungan
8. Lokasi relatif terhadap daerah lain.
Secara umum, aspek-aspek diatas
merupakan modal dasar dan faktor dominan bagi pengembangan industri, pemukiman
dan daerah perdagangan. Tetapi sektor manakah yang paling sesuai dan pada
lokasi mana dari region itu yang paling serasi bagi sektor tersebut untuk
dikembangkan, disini perlu pengumpulan data dan analisis lebih lanjut.
(Sumaatmaja, 1988)
Pelaksanaan Pembangunan Regional
Dalam pelaksanaan pembangunan
regional, diperlukan perencanaan yang tepat. agar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Proses perencanaan
pembangunan harus dikaitkan dengan orientasi untuk memenuhi kepentingan dan
kebutuhan masyarakat. Perencanaan pembangunan yang ideal dilaksanakan memenuhi
beberapa dimensi, yaitu :
a) Dimensi Substansi, artinya rencana
pembangunan yang disusun dari sisi materinya harus sesuai dengan aspirasi dan
tuntutan yang berkembang di masyarakat.
b) Dimensi Proses, artinya proses penyusunan
rencana pembangunan yang dilaksanakan memenuhi kriteria scientific (memenuhi
kaidah keilmuan atau rational) dan demokrasi dalam pengambilan keputusan,
c) Dimensi Konteks, artinya rencana
pembangunan yang telah disusun benar-benar didasari oleh niat untuk
mensejahterakan masyarakat dan bukan didasari oleh kepentingan-kepentingan
tertentu,
http://www.cimbuak.net/content/view/85/5/
Perkembangan kehidupan manusia
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang membawa dampak
terhadap pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tekonolgi bagi kehidupan umat manusia
pada umumnya. Contohnya ada komputer, handphone, dan lain-lainnya. Hal tersebut
membuat kemudahan-kemudahan manusia dalam melaksanakan pekerjaan sesuai
bidangnya. (Sumaatmaja, 1988)
Pelaksanaan pembangunan di
Indonesia seharusnya berwawasan lingkungan. Artinya, pembangunan dalam suatu
sektor kehidupan harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu
ada perencanaannya, yang wajib disertai analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan
analisis manfaat dan resiko terhadap
lingkungan (AMRIL). Untuk memahami apa dampak itu dapat dilihat pada diagram
alir berikut:
Kegiatan yang dilakukan manusia
sangat bermacam-macam , misalnya dalam usulan dalam kegiatan pembangunan.
Umpamanya usualan tersebut adalah pembuatan jalan raya yang memeotong sebuah
pinggiran kota. Bila tegak lurus dengan jalan raya itu terdapat puluhan aliaran
sungai-sungai (besar maupun kecil), maka suatu sitem drainase yang kurang baik
yang dapat menimbulkan dampak banjir, maka dampaknya akan dirasakan oleh
penduduk setempat. Hal ini berarti bahwa dalam memanfaatkan lingkungan alam
dalam bentuk pembangunan, wajib memperhatikan kelestarian dan kualitas
lingkungan agar manfaat serta kegunaanya tetap langgeng.(Soeriatmaja,2000:60)
Penduduk dan kebutuhannya baik
secara kuantitatif maupun kualitatif
akan terus meningkat. Hal ini yang mendorong pertumbuhan produksi barang-barang
konsumsi dengan perdagangannya. Sehingga volume perdagangannya juga terus
meningkat.
D.
FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB KETIMPANGAN
Sudah
cukup banyak studi yang menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan
ekonomi antar provinsi atau wilayah di Indonesia. Di antaranya dari Esmara
(1975), Sediono dan Igusa (1992), Azis (1989), Hill dan Wiliams (1989), Sondakh
(1994), dan Safrizal (1997,2000). Namun menurut Sjafrizal(2012) Beberapa faktor
utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wilayah menurut Sjafrizal
(2012) yaitu:
1.
Perbedaan kandungan sumber daya alam
Perbedaan kandungan sumber daya
alam akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah
dengan kandungan sumber daya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi
barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah
lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih rendah. Kondisi ini
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat.
Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih kecil
hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi
sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah
bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.
2.
Perbedaan kondisi demografis
Perbedaan kondisi demografis
meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan
tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan
perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki
masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis akan berpengaruh terhadap
produktifitas kerja masyarakat setempat. Daerah dengan kondisi demografis yang
baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga
hal ini akan mendorong peningkataan investasi yang selanjutnya akan
meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
3.
Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa
Mobilitas barang dan jasa meliputi
kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah
(transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah apabila mobilitas kurang
lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat di jual ke daerah lain
yang membutuhkan. Akibatnya adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah akan
cenderung tinggi, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses
pembangunannya.
4.
Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah
Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih
cepat pada suatu daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar.
Kondisi inilah yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah
melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan
masyarakat.
5.
Alokasi dana pembangunan antar wilayah
Alokasi dana ini bisa berasal dari
pemerintah maupun swasta. Pada sistem pemerintahan otonomi maka dana pemerintah
akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar
wilayah akan cenderung lebih rendah. Untuk investasi swasta lebih banyak
ditentukan oleh kekuatan pasar.Dimana keuntungan lokasi yang dimiliki oleh
suatu daerah merupakan kekuatan yang berperan banyak dalam menark investasi
swasta. Keuntungan lokasi ditentukan oleh biaya transpor baik bahan baku dan
hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh,
konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu
investai akan cenderung lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan
daerah pedesaan.
Sedangkan menurut Adelman dan
Morris (1973) dalam Arsyad (2010) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan
ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang,
yaitu:
1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang
mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita;
2. Inflasi di mana pendapatan uang bertambah
tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi
barang-barang;
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah;
4. Investasi yang sangat banyak dalam
proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase
pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan persentase
pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah;
5. Rendahnya mobilitas sosial;
6. Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi
impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk
melindungi usaha-usaha golongan kapitalis;
7. Memburuknya nilai tukar (term of trade)
bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara
maju, sebagai akibat ketidak elastisan permintaan negara-negara terhadap barang
ekspor negara-negara sedang berkembang; dan
8. Hancurnya industri-industri kerajinan
rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
Kesimpulan dari semua studi-studi
tersebut adalah bahwa f aktor-faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan
ekonomi antar provinsi di Indonesia adalah sebagaiberikut.
1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi
Wilayah
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang
tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah.Ekonomi dari daerah dengan
konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat.Sedangkan daerah dengan
tingkat konsentrasi ekonomi rendah cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.Di Indonesia, strategi pembangunan
ekonomi nasional yang diterapkan selama pemerintahan OrdeBaru membuat secara
langsung maupun tidak langsung terpusatnya pembangunan ekonomi di Jawa,
khususnya Jawa Barat dan Jawa Timur, dan hingga tingkat tertentu di Sumatra.
Ini membuat terbelakangnya pembangunan ekonomi diprovinsi-provinsi di luar Jawa
.Selain itu, memusatnya pembangunan ekonomi di Jawa juga disebabkan oleh
berbagai hal lain, di antaranya ketersediaan infrastruktur dan letak geografis.
Ekspansi ekonomi dalam pola seperti ini terbukti mempunyai pengaruh yang
merugikan bagi daerah-daerah lain, serta kegiatan perdagangan pindah dari daerah-daerah
di luar Jawa ke Jawa. Khususnya migrasi, baik dari kategori berpendidikan
rendah maupunberpendidikantinggiterusmengalirkeJawa
Namun, sebenarnya kegiatan ekonomi yang
terpusatnya di Jawa tidak harus sepenuhnya merugikan semua daerah lain, khususnya
yang dekat dengan Jawa atau tidak harus memperbesar efek-efek polarisasi.
Paling tidak dalam teori, pembangunan ekonomi yang pesat di Jawa selama ini
bisa juga member banyak keuntungan, misalnya dalam bentuk ekspor dari
daerah-daerah tersebut ke Jawa meningkat dan berarti dampak positif terhadap
pertumbuhan kesempatan kerja dan pendapatan di daerah-daerah tersebut.
2. Alokasi Investasi
Indikator lain yang juga menujukkan
pola serupa adalah distribusi investasi langsung, baik yang bersumber dari
luarnegeri (PMA) mau pun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori
pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar yang menerangkan adanya korelasi positif
antara tingkat I dan laju pertumbuhan ekonomi, dapat di katakana bahwa
kurangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan
masyarakan per kapita di wilayah tersebut rendah , karena tidakada
kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur.
DAFTAR PUSTAKA:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar