Pengelolahan Sumber Daya Alam Manusia.
A. MASALAH SUMBER DAYA ALAM STRUKTUR PENGUASAAN
SUMBER DAYA ALAM
Sumber daya alam (biasa
disingkat SDA )
adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Pengelolahan sumber pengelolaan sumberdaya alam adalah perkara yang sangat
serius dan berkesinambungan tentang manajemen dan kebijaksanaan. Degradasi
penglolaan sumber daya alam lebih banyak disebabkan oleh kelalaian manusia
dalam mengikuti dan menerapkan aturan -aturan, serta keberanian manusia dalam
melawan aturan – aturan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Permasalahan pengelolaan sumberdaya alam
menjadi sangat penting dalam pembangunan ekonomi pada masa kini dan masa yang
akan datang. Di lain pihak sumberdaya alam tersebut telah banyak mengalami
kerusakan-kerusakan, terutama berkaitan dengan cara-cara eksploitasinya guna
mencapai tujuan bisnis dan ekonomi. Dalam laporan PBB pada awal tahun 2000
umpamanya, telah
diidentifikasi 5 jenis kerusakan ekosistem
yang terancam mencapai limitnya, yaitu meliputi ekosistem kawasan pantai dan
sumberdaya bahari, ekosistem lahan pertanian, ekosistem air tawar, ekosistem
padang rumput dan ekosistem hutan. Kerusakan-kerusakan sumberdaya alam di dalam
ekosistem-ekosistem tersebut terjadi terutama karena kekeliruan dalam
pengelolaannya sehingga mengalami kerusakan yang disebabkan karena terjadinya
perubahan besar, yang mengarah kepada pembangunan ekonomi yang tidak
berkelanjutan. Padahal sumberdaya tersebut merupakan pendukung utama bagi
kehidupan manusia, dan karenanya menjadi sangat penting kaitannya dengan
kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat manusia yang mengarah kepada
kecenderungan pengurasan (depletion) dan degradasi (degradation). Kecenderungan
ini baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitasnya dan terjadi di hampir
semua kawasan, baik terjadi di negara-negara maju maupun negara berkembang atau
miskin.
Oleh
karena itu sumber daya alam wajib dikelola secara bijaksana agar dapat
dimanfaatkan secara berdaya guna, berhasil guna dan berkelanjutan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun generasi yang
akan datang. Ketersediaan sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat
terbatas, oleh karena itu pemanfaatannya baik sebagai modal alam maupun
komoditas harus dilakukan secara bijaksana sesuai dengan karakteristiknya.
Sejalan
dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pengelolaan
sumberdaya alam harus berorientasi kepada konservasi sumberdaya alam (natural
resource oriented) untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi
sumberdaya alam, dengan menggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan
terpadu.
Namun
kenyataannya apa yang diidealkan dan diharapkan sebagaimana uraian di atas adalah jauh dari harapan,
telah terjadi banyak kerusakan atas SDA kita, yang ternyata persoalan pokok
dari sumber daya alam (dan lingkungan hidup) yang terjadi selama ini justru dipicu oleh persoalan Hukum
dan Kebijakan atas sumber Daya Alam tersebut.
Oleh
karenanya dengan melihat kondisi di atas Hukum Sumber Daya Alam sebagai bagian
dari Hukum Tata Ruang dan Sumber Daya Alam.
B. KEBIJAKAN SUMBER DAYA ALAM
Kebijakan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup dalam GHBN 1999 – 2004:
1.
Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat
bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
2.
Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup
dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan
menerapkan teknologi ramah lingkungan.
3.
Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan
keterbaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk
mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.
4.
Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara
selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap
terjaga, yang diatur dengan undang-undang.
5.
Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal
serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.
Arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya
alam dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam :
1.
Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam
rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
2.
Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui
identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai
potensi dalam pembangunan nasional.
3.
Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi
sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial
untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
4.
Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya
alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber
daya alam tersebut.
5.
Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul
selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang
guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas
prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
6.
Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada
optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun
nasional.
Parameter Kebijakan PSDA Bagi Pembangunan Berkelanjutan
Reformasi pengelolaan sumber daya alam
sebagai prasyarat bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan dapat dinilai
dengan baik apabila terumuskan parameter yang memadai. Secara implementatif,
parameter yang dapat dirumuskan diantaranya:
1. Desentralisasi dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan mengikuti prinsip dan pendekatan
ekosistem, bukan administratif.
2.
Kontrol sosial masyarakat dengan melalui pengembangan transparansi
proses pengambilan keputusan dan peran serta masyarakat . Kontrol sosial ini
dapat dimaknai pula sebagai partisipasi dan kedaulatan yang dimiliki (sebagai
hak) rakyat. Setiap orang secara sendiri-sendiri maupun berkelompok memiliki
hak yang sama dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan,
pengawasan serta evaluasi pada pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam dan
lingkungan hidup.
3.
Pendekatan utuh menyeluruh atau komprehensif dalam pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup. Pada parameter ini, pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup harus menghilangkan pendekatan sektoral, namun
berbasis ekosistem dan memperhatikan keterkaitan dan saling ketergantungan
antara faktor-faktor pembentuk ekosistem dan antara satu ekosistem dengan ekosistem
lainnya.
4.
Keseimbangan antara eksploitasi dengan konservasi dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga tetap terjaga kelestarian dan
kualitasnya secara baik.
5.
Rasa keadilan bagi rakyat dalam pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan hidup. Keadilan ini tidak semata bagi generasi sekarang semata,
tetapi juga keadilan untuk generasi mendatang sesudah kita yang memiliki hak
atas lingkungan hidup yang baik.
C. DOMINASI SUMBER DAYA ALAM INDONESIA
Realita hidup dan kehidupan manusia tidak
terlepas dari alam dan lingkungannya, karena hal tersebut merupakan hubungan
mutualisme dalam tatanan keseimbangan alam dan kehidupannya (Balancing
Ecosystem). Sumber daya alam terbagi dua, yaitu SDA yang tidak dapat diperbaharui
(unrenewable) dan yang dapat diperbaharui (renewable). Keanekaragaman hayati
termasuk didalam sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Potensi sumber daya
alam hayati tersebut bervariasi, tergantung dari letak suatu kawasan dan
kondisinya. Pengertian istilah sumber daya alam hayati cukup luas, yakni
mencakup sumber daya alam hayati, tumbuhan, hewan, bentang alam (landscape).
Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya alam hayati yang berlimpah ruah
sehingga dikenal sebagai negara MEGABIODIVERSITY. Keanekaragaman hayatinya
terbanyak kedua diseluruh dunia.
Wilayah hutan tropisnya terluas ketiga di
dunia dengan cadangan minyak, gas alam, emas, tembaga dan mineral lainnya.
Terumbu karang dan kehidupan laut memperkaya ke-17.000 pulaunya. Lebih dari itu,
Indoensia memiliki tanah dan dan area lautan yang luas, dan kaya dengan
berjenis-jenis ekologi. Menempati hampir 1.3 persen dari wilayah bumi,
mempunyai kira-kira 10 persen jenis tanaman dan bunga yang ada di dunia, 12
persen jenis binatang menyusui, 17 persen jenis burung, 25 persen jenis ikan,
dan 10 persen sisa area hutang tropis, yang kedua setelah Brazil (world Bank
1994). Walaupun demikian persoalan tentang pengelolaan sumber daya alam hanya
mendapat perhatian sedikit dari para pengambil kebijakan.
Kepulauan Indonesia yang terdiri atas 17,000
pulau, merupakan tempat tinggal bagi flora dan fauna dari dua tipe yang berbeda
asal usulnya. Bagian barat merupakan kawasan Indo-Malayan, sedang bagian timur
termasuk kawasan Pacifik dan Australia. Meski daratannya hanya mencakup 1,3
persen dari seluruh daratan di bumi, Indonesia memiliki hidupan liar flora dan
fauna yang spektakuler dan unik. Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati
yang mengagumkan: sepuluh persen dari spesies berbunga yang ada didunia, 12
persen dari spesies mamalia dunia, 16 persen dari seluruh spesies reptil dan
amphibi, 17 persen dari seluruh spesies burung, dan 25 persen dari semua
spesies ikan yang sudah dikenal manusia.
Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia
adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora
yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya didunia sehubungan
dengan keanekaan hidupan liarnya. Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis
yang terbesar di Asia-Pasific, yaitu diperkirakan 1,148,400 kilometer persegi.
Hutan Indonesia termasuk yang paling kaya keaneka ragaman hayati di dunia.
Hutan Indonesia dikenal sebagai hutan yang paling kaya akan spesies palm (447
spesies, 225 diantaranya tidak terdapat dibagian dunia yang lain), lebih dari
400 spesies dipterocarp (jenis kayu komersial yang paling berharga di Asia
tenggara), dan diperkirakan mengandung 25,000 species tumbuhan berbunga.
Indonesia juga sangat kaya akan hidupan liar: terkaya didunia untuk mamalia
(515 spesies, 36% diantaranya endemik), terkaya akan kupu-kupu swalowtail (121
spesies, 44% diantaranya endemik), ketiga terkaya didunia akan reptil (ada
lebih dari 600 spesies), keempat terkaya akan burung (1519 spesies, 28%
diantaranya endemik) kelima untuk amphibi (270 species), dan ketujuh untuk
tumbuhan berbunga.
Lingkungan Pesisir dan Kelautan di Indonesia
Panjang seluruh garis pesisir di Indonesia mencapai 81,000 kilometer, ini
adalah 14% dari seluruh pesisir di dunia. Indonesia adalah negara yang memiliki
pesisir terpanjang di dunia. Ekosistem kelautan yang dimiliki oleh Indonesia
sungguh sangat bervariasi, dan mendukung kehidupan kumpulan spesies yang sangat
besar. Indonesia memiliki hutan bakau yang paling luas, dan memiliki terumbu
karang yang paling spektakuler di kawasan Asia. Hutan bakau paling banyak
dijumpai di Pesisir Timur Sumatra, pesisir Kalimantan, dan Irian Jaya (yang
memiliki 69% dari seluruh habitat hutan bakau di Indonesia). Sedangkan lautan
biru di Maluku dan Sulawesi menaungi ekosistem yang sangat kaya akan ikan,
terumbu karang, dan organisme terumbu karang yang lain.
Ada apa dengan pengelolaan sumber daya alam
Indonesia ?
DI SEKTOR MIGAS : Masalah kebijakan tambang
migas di Indonesia : Minyak dan Gas Bumi (Migas), diyakini banyak kalangan
sebagai komoditi tulang punggung ekonomi Indonesia hingga kini. Dilihat dari
angka-angka, Migas memang berkontribusi paling tinggi dibanding sektor lain
pada pendapatan (yang katanya) negara. Oleh karena itu, semua mata jadi
tertutup, dan kita tidak dapat melihat berbagai masalah yang terjadi dalam
penambangan migas. Akibatnya, Pertamina sebagai satu-satunya pemegang hak atas
Migas di Indonesia bersama para kontraktornya leluasa berbuat sewenang-wenang
atas kekayaan alam Indonesia.
Kesalahan utama kebijakan dan orientasi
pertambangan di Indonesia bermula dari UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing yang diikuti penandatanganan kontrak karya (KK) generasi I antara
pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran . Disusul dengan UU No 11 tahun
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Sejak saat itu, Indonesia
memilih politik hukum pertambangan yang berorientasi pada kekuatan modal besar
dan eksploitatif. Dampak susulannya adalah keluarnya berbagai regulasi
pemerintah yang berpihak pada kepentingan pemodal. Dari kebijaakan-kebijakannya
sendiri, akhirnya pemerintah terjebak dalam posisi lebih rendah dibanding
posisi pemodal yang disayanginya. Akibatnya, pemerintah tidak bisa bertindak
tegas terhadap perusahaan pertambangan yang seharusnya patut untuk ditindak.
Sejak tahun 1967 hingga saat ini, pemerintah
yang diwakili oleh Departemen Pertambangan dan Energi, (kini Departemen Energi
dan Sumberdaya Mineral) seolah merasa bangga jika berhasil mengeluarkan izin
pertambangan sebanyak mungkin. Tidak heran jika sampai dengan tahun 1999
pemerintah telah “berhasil” memberikan izin sebanyak 908 izin pertambangan yang
terdiri dari kontrak karya (KK), Kontrak karya Batu Bara (KKB) dan Kuasa
Pertambangan (KP), dengan total luas konsesi 84.152.875,92 Ha atau hampir
separuh dari luas total daratan Indonesia . Jumlah tersebut belum termasuk
perijinan untuk kategori bahan galian C yang perizinannya dikeluarkan oleh
pemerintah daerah berupa SIPD. Walaupun baru sebagian kecil dari perusahaan
yang memiliki izin itu melakukan kegiatan eksploitasi, namun dampaknya sudah
terasa menguatirkan.
Berbagai kasus korupsi di dunia pertambangan
belum satupun yang diusut tuntas. Eufemisme justru sering digunakan untuk
menyelamatkan Pertamina dari tuduhan korupsi seperti kasus mis-manajemen yang diungkap
pada Habibie. Selain masalah korupsi, banyak masalah lain yang juga belum
terungkap dalam penambangan Migas. Misal saja, hak menguasai negara yang
diberikan secara mutlak pada PERTAMINA, proses lahirnya Production Sharing
Contract (Kontrak Bagi Hasil/PSC) antara PERTAMINA dengan perusahaan
multinasional, rencana investasi yang diatur oleh perusahaan multinasional.
Di sisi lain, perkembangan RUU Migas UU Migas
No. 44 Prp tahun 1960, kini sedang disiapkan penggantinya oleh pemerintah.
Rancangan UU ini sempat menjadi kontroversial, karena terjadi perbedaan
pandangan yang tajam antara pemerintah dan DPR-RI saat itu. Perdebatan yang
mengemuka saat itu berkisar pada peran Pertamina, dan kepentingan ekonomi
negara.
Production Sharing Contrac (Kontrak Bagi
Hasil/PSC) Dalam usulan RUU Migas, pemerintah berkeinginan mengganti PSC dengan
Kontrak Kerjasama, yang menyerupai Kontrak Karya dalam pertambangan umum.
Padahal semua tahu model Kontrak Kerjasama ala Kontrak Karya, telah nyata-nyata
merugikan bangsa yang dikeruk hasil alamnya oleh perusahaan tambang. Perdebatan
menjadi tereduksi oleh bingkai penglihatan sistem kontrak, yang sangat
diharapkan oleh investor.
Liberalisasi distribusi dan pemasaran migas,
Pemerintah lewat RUU Migas berjanji untuk mengikis habis monopoli di PERTAMINA.
Namun yang ditawarkan adalah membuka suatu kesempatan bagi perusahaan swasta
lain untuk ikut berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Sepintas ide
ini cukup menarik. Namun ancaman di balik itu sungguh sangat mengerikan. Saat
ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah perushaan-perusahaan
multinasional seperti Mobil Oil, Shell, Caltex, Texaco, Unocal, Vico, Total dan
lain sebagainya. Karena mereka yang paling siap, maka mereka yang akan merebut
pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia. Maka yang akan
terjadi adalah bergantinya Monopoli Pertamina pada Oligopoli perusahaan
multinasional.
Ancaman besarnya modal yang akan masuk pada
industri migas di Indonesia, juga menjadi tidak mendapatkan perhatian pemerintah.
Padahal, dilihat dari rencana investasi yang sedang disiapkan oleh perusahaan
multinasional dan campur tangan mereka lewat lembaga-lembaga keuangan
internasional dalam kebijakan negara, adalah ancaman serius yang patut
diperhatikan semua pihak. Perang saudara di Angola adalah satu contoh terparah
akan betapa buruknya intervensi perusahaan multinasional pada keutuhan negara.
Isu lingkungan hidup merupakan isu yang
sangat marjinal di kalangan politisi dan pemerintah. Seolah-olah aktivitas
industri migas dilakukan di wilayah hampa kepemilikan dan kebal polusi. Padahal
berbagai kasus menunjukan isu ini menjadi pemicu lahirnya perlawanan rakyat,
seperti kasus Aceh, Riau dan Kaltim. Kasus Mobil Oil yang sudah lama
disengketakan orang Aceh, masih juga belum cukup jadi referensi bagi pengambil
kebijakan untuk mengubah susbstansi dan perilaku kebijakan. Negara secara
semena-mena mereduksi perlawanan rakyat atas ketidakadilan menjadi persoalan
perimbangan keuangan semata. Kontrak karya pertambangan yang berada dikawasan
hutan lindung telah mencapai 17,669 juta ha atau 37,5 % dari total luas lahan
kontrak karya seluas 47,059 juta ha. Kontribusi kerusakan hutan sejak tahun
1996 meningkat 2 juta ha per tahun.
DI SEKTOR KEHUTANAN : Kawasan hutan
lindung/konservasi yang saat ini benar-benar sudah terancam keberadaannya
diantaranya hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi
proyek PT Gag Nickel/BHP, Tahura Poboya-Paneki oleh PT Citra Palu Mineral/Rio
Tinto, Palu (Sulteng) dan Taman Nasional Meru Betiri di Jember Jawa Timur oleh
PT Jember Metal, Banyuwangi Mineral dan PT Hakman. Belum lagi ancaman terhadap
kawasan konservasi lainnya yang hampir semuanya dijarah oleh perusahaan
tambang, seperti ; Taman Nasional Lore Lindu – Sulawesi tengah oleh PT. Mandar
Uli Minerals/Rio Tinto, Taman Nasional Kerinci Sebelat oleh PT. Barisan
Tropikal Mining dan Sari Agrindo Andalas; Kawasan Hutan lindung Cagar Alam
Aketajawe dan Lalobata, Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals; Hutan lindung
Meratus – Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources NL dan Placer Dome;
Taman Nasional Wanggameti oleh PT. BHP; Cagar Alam Nantu oleh PT. Gorontalo
Minerals; dan Taman Wisata Pulau Buhubulu, oleh PT. Antam Tbk.
Terjadi perubahan luas kawasan hutan karena
eksploitasi hutan tropis Indonesia secara besar-besaran, dipacu dengan UU No. 5
Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan. Sejalan itu pula,
diterbitkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No.
6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yang memberi ruang
bagi para investor menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya diikuti dengan
berbagai kebijakan yang memungkinkan para pengusaha besar kroni Orde Baru
menguasai dan membabat hutan untuk membesarkan modalnya, misalnya PP No. 21
Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan, PP No. 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman
Industri, dan peraturan lainnya yang secara nyata tidak berpihak kepada
Struktur penguasaan kekayaan sumber daya alam
di Indonesia banyak didominasi oleh pengusaha besar dengan kekuatan kapitalnya.
Mereka dapat menguasai kawasan hutan, lahan dan pertambangan serta
mengeksploitasinya sampai jutaan hektar luasnya dan puluhan tahun masa
konsesinya. Sementara masyarakat setempat yang hidupnya mengandalkan sumber
daya lahan tersebut secara turun temurun sebelum negara berdiri, nasibnya
justru menjadi sengsara. Ketidakadilan distribusi penguasaan sumber daya alam
ini sebagai basis konflik sosial yang riil terjadi dalam kehidupan rakyat.
Ketimpangan pembangunan yang paling serius justru terjadi pada sub sektor
kehutanan, antara pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dengan rakyat.
Perusahaan pemegang HPH yang membawa izin
dari pusat, tanpa menghiraukan kepentingan rakyat menebang pohon-pohon besar
“milik negara”. Sementara akses rakyat setempat untuk sekedar memanfaatkan
hasil hutan non-kayu (seperti rotan dan damar) ditutup secara sepihak.. Ada 574
perusahaan HPH yang dikatakan mengelola 59 juta ha hutan, padahal faktanya
mereka tidak mengelola tetapi sekedar menebang bahkan membabat hutan tanpa
menanam kembali. Beberapa konglomerat yang pernah memegang HPH sampai jutaan
hektar, diantaranya Prajogo Pangestu seluas 3.536.800 Ha, Andi Sutanto
(3.142.800 ha), Burhan Uray (3.996.200 ha), PO Suwandi (2.189.000 ha), dll.
(BI, 23/10/98). Fakta lain mengatakan bahwa awal Juli 1999, Dephutbun
mengumumkan 18 HPH yang berindikasi KKN para kroni Soeharto. 9 HPH/HPHTI diduga
kuat melakukan KKN, 4 HPH dicabut pencadangannya, 5 HPH tidak diperpanjang izin
konsesinya (Kompas, 9 Juli 1999) Dephutbun juga mengidentifikasikan bahwa
seluas 3,03 juta ha lahan perkebunan dikuasai oleh 33 perusahaan besar di 7
propinsi.
Eksploitasi yang dilakukan para pemegang HPH
sangat fantastis dalam rentang 10 tahun terakhir. Data memperlihatkan bahwa
produksi kayu bulat mencapai 260,58 juta meter kubik, kayu gergajian 35,84 juta
meter kubik, dan kayu lapis 98,052 juta meter kubik. Di sisi lain, ekspor kayu
lapis Indonesia dalam 5 tahun terakhir mencapai 56,06 juta m3 dengan nilai
devisa 18,73 milyar US$. Sayangnya, nilai devisa itu tidak dinikmati oleh
rakyat, tidak juga oleh Pemerintah Daerah. Studi Walhi (1994) menunjukkan 85%
keuntungan sektor kehutanan langsung dinikmati oleh para pengusaha, sementar
sisanya oleh Pemerintah Pusat. Tampak jelas bahwa hasil eksploitasi bukan untuk
rakyat. Indikator ini dapat dilihat dari tenaga kerja yang terlibat dalam usaha
perkayuan pada HPH terbilang sangat kecil, yakni hanya 153.438 orang pada tahun
1997. Sementara di pihak lain, ada sekitar 20 juta jiwa rakyat yang
mengharapkan hidupnya dari sumber daya hutan mengalami kemiskinan yang
berkepanjangan. Bahkan akibat kebakaran hutan dan lahan 1997-1998, mereka
mengalami proses pemiskinan antara 40-73 persen dibandingkan sebelum kebakaran.
Selama beberapa dasawarsa, penguasa Indonesia
mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan lingkungan dan kehidupan
masyarakat setempat yang berkelanjutan. Sikap ini tidak lepas dari dukungan
pemerintah negara-negara Utara, program bantuan internasional dan
perusahaan-perusahaan asing. Atas nama pembangunan hutan dirusak dan laut,
sungai dan tanah tercemar. Masyarakat harus mengalah kepada HPH, HTI,
pertambangan, pembangkit listrik dan proyek berskala besar lainnya. Ironisnya,
keuntungan yang diperoleh hanya dinikmati oleh segelintir orang, kelompok elit
yang kaya dan penanam modal internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar