A.
ASAL USUL SUKU NIAS
Suku
Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan
kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum
disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai
dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam
budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran
pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau
ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem
kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi
adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang
harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan
menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Penelitian
terbaru mengungkap bahwa penduduk asli orang Nias berasal dari
Taiwan. Ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan seorang ahli
genetika, Manis van Houven.
Houven
mengambil sampel DNA dari sekira 900 warga Nias. Hasil pemeriksaan
menunjukkan ada kedekatan ke titik akurat bahwa orang Nias sangat
dominan mirip dengan genetika orang Taiwan.
Sebelum
penelitian ini dilakukan, muncul spekulasi bahwa asal muasal
orang Nias berasal dari Eropa atau kepulauan terdekat dengan
pesisir pantai barat Sumatera, seperti Kepulauan Nicobar atau
Madagaskar.
Hasil
penelitian Houven ini setidaknya menjawab berbagai spekulasi tentang
asal usul orang Nias.
Penelitian
Houven disosialisasikan melalui seminar internasional di Gunungsitoli
yang dihadiri kalangan pejabat, seperti wali kota dan bupati. Ada
pula para akademisi terkemuka berasal dari Kepulauan Nias. Penelitian
ini dimotori Yayasan Pusaka Nias.
Ciri
khas orang Nias, terutama dari kawasan Nias Utara, Nias Tengah, dan
Kota Gunungsitoli, secara dominan dapat diidentifikasi dengan mudah,
yakni berambut hitam, berbentuk oval, berkulit putih, dan berpostur
tubuh sedang.
Hal ini
berbeda sedikit dengan ciri khas orang Nias yang berasal dari Nias
Selatan, terutama asal Teluk Dalam yang memiliki wajah lojong dengan
rahang keras dan berpostur tubuh tinggi. Meski demikian, mereka juga
berkulit putih seperti orang China namun matanya tidak sipit.
Menurut
masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari
sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang
terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a".
Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama
ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang
Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan
Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang
pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
B.
MATA PENCARIAN SUKU NIAS
Mata pencaharian pokok bagi penduduk Nias yang berdiam di daerah pantai adalah dengan berkebun kelapa, sedangkan yang di daerah pedalaman bercocok tanam dalam bentuk peladangan. Cara pengolahan dan peralatannya masih sederhana, mereka belum mengenal bajak dan sistem irigasi.
Jenis
tanamannya adalah padi, palawija, pisang dan sayuran. Ladang yang
sudah tandus digunakan untuk memelihara babi, kambing, sapi dan
kerbau. Mata pencaharian tambahan adalah berburu, menangkap ukan,
beternak dan pertukangan. Hasil pertukangan suku Nias sudah mencapai
taraf yang tinggi sejak zaman prehistori, antara lain ; membuat
berbagai peralatan dan senjata dari besi, barang perhiasan dari emas,
perabot rumah dari kayu, seni pahat batu, ukir dan sebagainya.
C. Sistem Kerabatan
Sistem
kekarabatan di Nias adalah patrilineal, dengan adat menetap setelah
nikah yang virilokal, sehingga keluarga batih merupakan keluarga luas
virilokal (extended familiy) yang disebut sangambato sebua. Gabungan
dari sangambato sebua dari suatu leluhur disebut mado atau gana. Mado
dapat kita samakan dengan marga bagi suku Batak, yakni klen besar
yang patrilineal.
Fungsi
mado adalah untuk mengurus pembatasan jodoh dalam perkawinan yang
beradat exogami-mado. Dalam perkawinan pihak pria harus memberikan
mas kawin, biasanya berupa 100 ekor babi.
Mengenai
sistem kemasyarakatan, sebelum Belanda datang tahun 1669, orang Nias
terpecah-pecah menjadi beberapa kesatuan setempat yang otonom yang
disebut ori (negeri). Tiap-tiap ori merupakan gabungan dari beberapa
banua (desa), dan tiap banua dihuni oleh bagian-bagian dari beberapa
mado. Tiap ori dikepalai oleh seorang Tuhenori (kepala ori) dan tiap
banua dikepalai oleh seorang salawa (kepala desa).
Pada
zaman Belanda, semua ori di Nias dan sekitarnya dipersatukan menjadi
Afdeeling Nias, yang dikepalai oleh seorang Assisten resident.
Setelah merdeka, Afdeeling Nias dijadikan salah satu kabupaten dari
propinsi Sumatera Utara.
Pada jaman dahulu masyarakat Suku Nias
mengenal 4 lapisan, yaitu :
1. Siulu (bangsawan)
2. Ere (pemuka
agama palebegu)
3. Ono mbanus (rakyat jelata)
4. Sawuyu (budak)
Lapisan
Siulu dibedakan menjadi 2, yaitu balo ziulu (yang memerintah) dan
siulu (bangsawan kebanyakan.
Ono mbanua juga dibagi menjadi 2,
yaitu siila (cerdik pandai dan pemuka rakyat) dan sato (rakyat
kebanyakan).
Sawuyu dibagi menjadi 3 bagian, yaitu binu (budak
karena kalah perang/diculik), sondrara hare (budak karena tak dapat
membayar hutang) dan holito (budak karena ditebus orang setelah
dijatuhi hukuman mati).
Lapisan masyarakat itu bersifat exlusif,
dan mobilitas hanya terjadi dalam lapisan antar golongan saja.
Dalam
kebudayaan Nias asli juga mengenal pengerahan tenaga untuk kerja
bakti yang disebut halowo sato. Hal ini dilaksanakan setelah diadakan
musyawarah oleh wakil-wakil siulu dan siila. Untuk pengendalian
sosial adalah hukum adat. Orang yang melanggar hukum adat pada
umumnya dikenakan sangsi denda dan kutukan lekas mati. Denda itu
biasanya berupa babi, emas atau uang.
Sistem
religi : agama yang banyak dianut oleh penduduk dewasa ini adalah
Kristen Protestan, yang lain juga ada misalnya ; Islam, Katolik,
Buddha dan agama aslinya yang disebut Pelebegu (penyembah roh). Para
penganut Pelebegu menyebut agama molehe adu. Sifat agama ini adalah
menyembah adu (roh para leluhur). Adu adalah patung dari kayu yang
menjadi tempat bersemayamnya roh-roh leluhurnya. Patung yang telah
ditempati roh leluhur disebut adu satua dan harus
dirawat dengan baik.
C.
BUDAYA NIAS
Dalam
budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup
bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam
terjemahan bebas bahasa Indonesia (“semoga diberkati”). Dari arti
Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang
lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain
Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa
hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti
orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang
lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan
kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu),
termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama
manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam
“Ya’ahowu” tidak lain adolah persaudaraan (dalam damai) yang
sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk
pengembangan hidup bersama.
D.
MAKANAN KHAS SUKU NIAS
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Nias
http://www.museum.pusaka-nias.org/2011/10/sistem-adat-perkawinan-nias-salah-satu.html